بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Hubbud Dunia (Cinta Dunia). Itulah sebuah judul besar penyakit yang
menghinggapi banyak umat saat ini. Eksistensi dunia melebihi eksistensi
Allah. Celakanya lagi, bahkan banyak manusia yang sudah merusak
fitrahnya sebagai makhluk. Dengan menuhankan dunia. Na’udzubillahi
mindzaliq. Semoga hal yang demikian ini terhindar dari diri kaum
muslimin dan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang masih
meninggikan asma-Nya, dan memuliakan kekasihnya, Muhammadur rasulullahu
salallahu ’alaihi wasallam.
Penyakit cinta dunia dan takut mati memang bukan hari ini saja
terjadi. Ini adalah kisah dan perilaku yang berulang-ulang. Tentu ingat
bagaimana Fir’aun (Ramses II) yang menganggap dirinya Tuhan. Berkuasa
penuh atas diri manusia. Tapi, ketika maut menjemputnya (tatkala ia
digulung lautan saat mengejar nabi Musa as), barulah ia bermunajat pada
Allah swt. Sayang, semuanya terlambat. Hanya saja, tubuhnya hingga kini
tetap dijaga oleh Allah, sebagai pelajaran bagi umat di kemudian hari.
Dasar penyakit, cinta dunia hingga kini masih saja terus berulang.
Wujud dan bentuknya beragam. Namun, pada prinsipnya, cinta dunia selalu
dipicu oleh materi. Sehingga, banyak manusia hari ini berlomba-lomba
mencari rezki tanpa mengenal siang dan malam. Kerja keras siang malam,
pergi pagi pulang malam, peras keringat banting tulang demi dunia.
Sayang, mereka lupa dengan Maha Pemilik Materi, Allah ’Azza wa Jalla.
Tak takutkah mereka dengan azab Allah?
Obatnya segeralah bertobat. Kembalilah mencintai Allah dengan tidak
menafikan dunia. Karena sungguh besar manfaatnya untuk jiwa dan raga.
Syurga balasannya bagi orang yang mau mencintai Allah. Tapi tidak pula
mencintai Allah dengan jalan riya’. Cintailah Allah dengan ikhlas.
Zuhud-lah kepada Allah, seperti halnya Muhammad saw yang hingga akhir
hayatnya memilih menjadi anak-anak langit, bukan anak-anak dunia.
Abu Bakr ash-Shiddiq ra, (rela) memberikan seluruh harta kekayaannya
kepada Nabi Muhammad saw, demi berjuang di jalan Allah swt, demi Islam
sebagai totalitas hidup. Seorang pecinta tidak akan menyembunyikan apa
pun dari kekasihnya, bahkan ia akan memberikan segala sesuatu padanya.
Begitulah pelajaran yang dapat dipetik dari Abu Bakar, orang terpandang
di zamannya.
Syarat mencintai Allah memang dengan bala cobaan. Hal itu pulalah
yang dilalui oleh nabi-nabi Allah terdahulu hingga Rasulullah saw. Maka,
setiap bala cobaan disertai pula dengan kesetiaan. Agar tidak dicap
hanya mengaku-ngaku cinta Allah dengan kebohongan, kemunafikan, dan
riya’. Jalan (menuju) al-Haqq ’Azza wa Jalla membutuhkan kejujuran
(kesungguhan-shidq) dan cahaya makrifat. Di akhir cinta itulah seorang
muslim akan meraih kebahagiaan hidup yang diimpikannya. Seperti halnya
Muhammad saw berhasil membuat Islam jaya berabad-abad lamanya.
Jikalau kedekatan dengan-Nya sudah benar-benar shahih, maka Dia akan
mengucurkan anugerah kemurahan-Nya. Dia akan membuka pintu-pintu
bagian-Nya (qadha dan qadar), pintu kelembutan, pintu rahmat, dan
jendela anugerah-Nya. Dia genggam dunia untuk umat yang bersyukur, lalu
membentangkannya seluas-luasnya. Tentunya semua anugerah ini hanya
diberikan-Nya para manusia-manusia pilihan. Karena Dia Maha Mengetahui
akan ketaqwaan mereka. Mereka tidak pernah menyibukkan diri dengan
sesuatu sampai terlena melupakan-Nya.
Nabi saw termasuk orang yang ditawari dunia, namun tidak sibuk
mengurusinya dan lupa melayani-Nya. Beliau tidak menoleh pada
bagian-bagian (rezki) dengan segala kesempurnaan zuhud dan penentangan.
Beliau pernah ditawari kunci-kunci kekayaan bui, namun justru beliau
mengembalikannya sembari berkata, “Tuhan, hidupkanlah aku sebagai orang
miskin dan matikan aku sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku kelak
bersama orang-orang miskin”. Bagi kita kaum muslimin, tentu perjuangan
Rasulullah saw ini sangat mulia di sisi-Nya. Perjuangan yang
diberikannya, adalah demi umat Islam, sebagai umat terbaik di atas bumi
Allah swt.
Zuhud adalah anugerah kesalehan. Seorang Mukmin bebas lepas dari
beban ambisi mengumpulkan duniawi, tidak pula rakus dan terburu-buru.
Berzuhud atas segala sesuatu dengan segenap hati dan berpaling darinya
dengan segenap nurani. Seorang muslim hanya sibuk dengan apa yang
diperintahkan kepadanya. Dia tahu pasti bagiannya tidak akan lepas
darinya, hingga dia pun tidak perlu mencarinya. Dia biarkan
bagian-bagian (duniawi) berlari mengejar di belakangnya, merendah dan
memohon-mohon padanya untuk menerimanya.
Dikisahkan kembali oleh ’Abdul Kadir al Jilani tentang Sufyan
ash-Shawri, pada awal menuntut ilmu, di perutnya terikat sabuki himyan
berisi uang 500 dinar untuk keperluan hidup dan belajar. Dia ketuk-ketuk
sabuk itu dengan tangannya seraya berkata, ”Jika tidak ada engkau,
pastilah mereka sudah membuang kita”. Setelah diperolehnya ilmu dan
makrifat pengetahuan al-Haqq Azza wa Jalla, maka dia sumbangkan sisa
uang yang ada padanya untuk kaum fakir dalam waktu satu hari seraya
berkata, ”Jikalau langit adalah besi yang tak mencurahkan hujan, bumi
berupa batu cadas yang menumbuhkan (tanaman) dan aku pun (harus)
berkonsentrasi mencari rezki, maka pastilah aku menjadi kafir”.
Maka setiap orang mukmin bekerja dan berinteraksi dengan sarana
sampai iman benar-benar kuat, baru setelah itu berpindah dari sarana
(sabab) pada Pemberi sarana (Musabib). Para nabi juga bekerja, bermodal,
dan berhubungan dengan sarana duniawi pada awal keadaan mereka, baru
pada akhirnya, mereka pasrah diri (tawakal). Mereka mensinergikan kerja
dan tawakal sebagai awalan dan akhiran, syariat dan hakikat.
Diriwayatkan dari Nabi saw, “Bahwasanya seorang laki-laki datang
menghadapnya, lalu berkata, ‘Aku mencintaimu karena Allah ‘Azza wa
Jalla’. Beliau pun bersabda padanya, ’Jadikan bala cobaan sebagai jubah,
jadikan kefakiran sebagai jubah’”. Sebuah pepatah Arab juga mengatakan:
Jangan dekati ular dan macan, sebab mereka bisa membinasakanmu. Jika
engkau seorang pawang, bolehlah engkau dekati ular itu, dan jika engkau
sudah memilih kekuatan, maka dekatilah macan itu.
Seorang laki-laki pernah bertemu Abu Yazid al-Bisthami, kemudian lama
menengok ke kanan dan ke kiri. Abu Yazid pun menegurnya “Ada apa
gerangan?” Ia menjawab, ”Aku ingin (mencari) tempat bersih untuk
melaksanakan shalat”. Abu Yazid langsung menukas, “Bersihkan hatimu dulu
dan barulah shalat sebagaimana kehendakmu”. Memang, riya’ adalah
rintangan di tengah jalan kaum (Sufi) yang tidak mau harus mereka
seberangi. Riya’, ujub, dan kemunafikan, termasuk anak-anak panah Setan
yang dileparkan ke dalam hati.
Jangan terlena dengan hembusan-hembusan (bujuk rayu) Setan, dan
jangan kalah oleh panah-panah nafsu. Sebab ia (nafsu) melempari jiwa
orang mukmin dengan panah Setan, dan memang Setan tidak dapat menguasai
jiwa orang mukmin kecuali dengan sarana nafsu. Setan jin tidak dapat
menguasai kecuali lewat media Setan manusia, yaitu nafsu kolega-kolega
yang buruk. Memohonlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla’ dan mintalah tolong
pada-Nya dalam menghadapi musuh-musuh ini, niscaya Dia akan memberi
pertolongan.
Orang yang tertolak (al-mahrum) adalah orang yang menolak al-Haqq
‘Azza wa Jalla dan kehilangan kedekatan bersama-Nya di dunia dan
akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam beberapa kitab-Nya, “Hai
anak Adam! Jika Aku melewatkanmu, maka akan lepas (dari)mu segala
sesuatu”. Bagaimana al-Haqq ‘Azza wa Jalla tidak melewatkan harapan
orang mukmin jika mereka berpaling dari-Nya, dan dari kaum Mukmin serta
hamba-hamba-Nya yang saleh, bahkan malah menyakiti mereka secara lahir
dan batin. Nabi saw bersabda, “Menyakiti orang Mukmin lima belas kali
lebih besar (dosanya) di sisi Allah daripada merobohkan Ka’bah dan
a-Bait al-M’mur”.
Janganlah takut pada siapa pun, baik jin, manusia, maupun malaikat.
Jangan takut pula pada apa pun, baik hewan yang berbicara maupun yang
diam. Jangan takut dengan penderitaan dunia, dan jangan takut pula
dengan siksa akhirat, akan tetapi takutlah pada Sang Pemberi azab
siksaan. Yang menurunkan penyakit adalah juga yang menurunkan obat.
Tentu saja, ia pula yang lebih mengerti tentang kemaslahatan daripada
selainnya. Jangan kecam Allah ‘Azza wa Jalla’dalam segala tindakan-Nya
(fi’l. Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Dia akan
merampasnya (ikhtiar dan duniawinya), jika memang ia bersabar
(menghadapinya), maka Dia akan mengangkat (derajat)nya, membaguskan
(taraf kehidupannya), memberinya (anugerah), dan membuatnya kaya.
Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Cegahlah nafsu dari syahwat
kesenangan dan kelezatan. Berilah dia makanan yang suci tanpa najis.
Makanan yang suci adalah makanan yang halal. Adapun makanan yang najis
adalah haram. Berilah dia sarapan yang halal hingga dia tidak menjadi
sombong, tinggi hati, dan kurang ajar. Ya Allah, kenalkanlah kami
dengan-Mu, hingga kami mengenal-Mu”. aamiin
Walloohu a'lam tsumma assalamu'alaykum wr.wb
Post, min: Dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar